KEAKSARAAN SEBAGAI BAGIAN "EDUCATION FOR ALL"
PAPER
FUNCTIONAL
LITERACY AS EDUCATION
FOR
ALL (EFA)
“Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
pada mata kuliah Pendidikan Multiliterasi”
Semester
: 104
Dosen
Pemangku : Risa Santoso M.Pd
Disusun
Oleh
RIA
RAHAYU (1515151837)
PLS
C 2015
PENDIDIKAN
LUAR SEKOLAH
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGERI JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur pengembangan program pendidikan
keaksaraan yang telah dilakukan
dapat sesuai dengan kebutuhan dan dinamika
masyarakat. Pelatihan ini dilaksanakan di
luar sistem persekolahan, dengan manfaat diharapkan sebagai penambah, pelengkap, dan pengganti. Berbagai rujukan penting dalam pengembangan pendidikan
masyarakat mengacu kepada program
UNESCO antara lain:
program Education for
All (Pendidikan Untuk Semua),
Education for Sustainable
Development atau pendidikan
untuk pembangunan berkelanjutan, Life Skills (Pendidikan Kecakapan
Hidup), Literacy Initiative For
Empowerment atau Prakarsa
Keaksaraan untuk Pemberdayaan,
dan program lainnya. Program
pendidikan keaksaraan sebagai bagian Education For All telah menjadi bagian penting dari isu
pendidikan di tingkat global yang harus diterapkan dalam konteks
lokal.
Untuk itu, penulis merasa bahwa pendidikan keaksaraan itu
penting untuk diberlakukan di seluruh perkotaan maupun perkotaan Indonesia,
mengingat bahwa tingkat buta aksara di Indonesia masih dalam tingkat besar
meskipun target pemberantasan buta aksara telah tercapai.
Penulis menyadari, bahwa dalam pembuatan paper ini belum
mencapai tingkat maksimal dikarenakan terbatasnya sarana dan prasarana juga
data yang dibutuhkan sebagai referensi. Maka dari itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari rekan-rekan semuanya
untuk perbaikan pada pembuatan paper selanjutnya. Semoga paper yang telah
penulis buat dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya.
Terimaksih
Jakarta,
15 Desember 2016
Penulis
DAFTAR PUSTAKA
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR
ISI.......................................................................................................................... ii
ABSTRAK............................................................................................................................. 1
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Penelitian
Terkait................................................................................................. 6
2.2
Metodologi...........................................................................................................7
2.3 Percobaan dan
Hasil............................................................................................. 9
2.4
Pemecahan............................................................................................................12
REFERENSI.......................................................................................................................... 14
ABSTRAK
Buta aksara adalah ketidakmampuan untuk menggunakan bahasa ketidakmampuan
untuk membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara. Hal ini, biasanya diartikan
tidak mampu membaca dan menulis pada tingkat yang memadai untuk komunikasi
tertulis atau pada tingkat yang akan memungkinkan seorang individu untuk
berfungsi pada tingkat tertentu dari masyarakat. Buta aksara merupakan
penghambat utama bagi individu penyandangnya untuk bisa mengakses informasi dan
mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikapnya.
Ada beberapa alasan mengapa mereka buta huruf, antara lain disebabkan: a)
tidak sekolah sejak awal; b) drop out sekolah dasar (SD kelas 1-3); c) buta
huruf kembali. Pendidikan keaksaraan bagi orang dewasa memberikan fungsi
fungsional bagi kehidupan peserta didik, oleh karena pelaksana pembelajaran
berdasarkan konteks dan desain lokal serta dinamika perkembangan masyarakat
memerlukan strategi yang dinamis sehingga peserta didik terlibat dalam suasana
yang menyenangkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan penyelenggaraan program
lifeskill education pada keaksaraan fungsional;
2. Mendeskripsikan pengembangan program
lifeskill education pada warga belajar; serta
3. Mendeskripsikan manfaat program yang
diselenggarakan pada warga belajar sebagai program kecakapan hidup yang harus
dimiliki oleh setiap warga belajar untuk keberlangsungan hidupnya.
Dalam penelitian ini pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
kuantitatif. Penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen dengan subyek
tunggal (Single Subject). Subjek pada penelitian ini adalah peserta didik
pendidikan keaksaraan tingkat dasar di Wanaraja Garut. Berdasarkan hasil
pre-test (tes formatif) dan post-test (tes sumatif) menunjukkan bahwa kemampuan calistung peserta
didik pendidikan keaksaraan fungsional pasti memiliki perbedaan. Namun, penulis
tetap berharap penelitian yang dilakukan dapat memberikan manfaat kepada
peserta didik dalam melakukan pemecahan masalah kehidupannya. Selain itu,
diharapkan pula adanya peningkatan pengetahuan dan perilaku yang peserta yang
lebih baik lagi setelah mengikuti program Keaksaraan Fungsional ini.
BAB
I
PENDAHULUAN
Program keaksaraan fungsional adalah
implementasi sebuah konsep pembelajaran berbasis masyarakat (community
based learning), yang merupakan pembelajaran yang dirancang, diatur,
dilaksanakan, dinilai dan dikembangkan oleh masyarakat yang mengarah pada usaha
untuk menjawab tantangan yang ada di masyarakat.
Hakekat dari “Education For All” pada intinya
adalah mengupayakan agar setiap warga negara dapat memenuhi haknya, yaitu
pelayanan pendidikan. Education For All merupakan wujud pembelajaran yang
menyangkut semua usia entah itu dewasa, orangtua, maupun anak-anak yang
bertujuan agar lebih mengerti tentang sesuatu. Seperti yang dikemukakan Paulo
Freire bahwa pendidikantidak boleh dibatasi hanya untuk golongan elite dengan
mengesampingkan golongan menengah ke bawah sebagai kaum tertindas. Menurutnya,
semua orang yang hidup berhak memperoleh pendidikan, inilah yang disebut konsep
pendidikan “education for all”.
Pendidikan untuk semua telah menjadi komitmen
global untuk menyediakan pendidikan dasar yang berkualitas bagi semua anak
muda, anak-anak, maupun orang dewasa. Education For All (EFA) adalah gerakan
global yang dipimpin oleh UNESCO, yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar semua anak, remaja, dan orang dewasa
pada tahun 2015. UNESCO telah diamanatkan untuk memimpin gerakan dan
mengkoordinasikan upaya-upaya internasional untuk mencapai tujuan EFA. Untuk
dapat mewujudkan EFA, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta,
lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warga negara secara individual,
secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk berpartisipasi
aktif dalam menyukseskan EFA sesuai dengan potensi dan kapasitas masing-masing.
Sejak Juminten Conference tahun
1990 diskusi tentang
pendidikan nonformal lebih diarahkan
pada masalah pendidikan
untuk semua (education
for all), terutama menyangkut kebijakan
dan rencana pengembangan
education for all bagi
negara-negara berkembang, khususnya
mengenai pelayanan pendidikan
bagi anak-anak. Melalui
konsep education for allpendidikan nonformal
diharapkan mampu melayani pendidikan
mulai tingkat dasar
termasuk pendidikan untuk
anak-anak usia sekolah sampai pada
program-program alternatif untuk
melayani pendidikan para
pemuda, terutama
dikonsentrasikan bagi para
pemuda yang tidak
sekolah (drop out/putus sekolah) dan tidak berada pada usia
sekolah formal. Dengan digulirkannya
education for all pendidikan nonformal memiliki program yang sangat
luas, tidak hanya melayani pendidikan
orang dewasa akan
tetapi juga pemuda dan
anak-anak yang tidak
terlayani pendidikan formal.
Pada hal ini, tujuan pembuatan paper adalah
sebagai sarana pemenuhan tugas pada mata kuliah Pendidikan Multiliterasi, juga
untuk mengakaji lebih lanjut mengenai Keaksaraan sebagai bagian dari Education
For All (EFA). Hal ini mengacu pada kondisi saat ini bahwa pendidikan
keaksaraan sangat penting bagi keberlangsungan masyarakat baik lansia, pemuda,
maupun anak-anak yang mengalami putus sekolah atau tidak mengikuti program
pendidikan formal. Selain itu bahwa program pembelajaran keaksaraan ini
dirancang untuk menjadikan masyarakat mandiri dan mampu menjawab segala permasalahan yang mereka
hadapi di dunia nyata dengan keaksaraan yang mereka miliki.
Pada dasarnya keaksaraan merupakan pendidikan
penting yang harus diberikan pada semua lapisan masyarakat. Keaksaraan pun
merupakan kecakapan yang harus dimiliki oleh semua orang untuk kelangsungan
hidupnya. Pada umumnya, banyak masyarakat yang telah mengetahui pentingnya
keaksaraan, namun kesibukan akan pekerjaan atau aktivitas lainnya yang membuat
masih banyaknya masyarakat melupakan pentingnya pendidikan keaksaraan.
Mengacu pada penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya mengenai “Peningkatan Skill dan Potensi pada Keaksaraan Fungsional”
menjadikan penelitian tersebut sebagai dasar untuk penelitian penulis
selanjutnya. Dimana penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan skill dan
potensi masyarakat serta sikap mental yang dapat dikembangkan untuk
pengembangan diri, mencari nafkah maupun untuk
meningkatkan pendidikan melalui Keaksaraan Fungsional yang merupakan Education
For All seperti program yang telah digarap oleh lembaga UNESCO. Pada penelitian
tersebut penulis berharap bahwa
pelaksanaan kegiatan tersebut dapat membawa warga belajar meningkatkan
pengetahuannya sejalan dengan perkembangan IPTEK; meningkatkan kemampuannya
sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat; serta dapat meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi.
Akibat
padatnya aktivitas masyarakat dengan mayoritas mata pencaharian sebagai
pedagang, petani dan buruh, memberikan banyak kendala atau permasalahan bagi
penulis dalam melaksanakan penelitian tersebut dikarenakan waktu luang yang
mereka miliki tergolong sedikit. Selain itu, dalam rangka memberantas buta
aksara dan pelayanan pendidikan keaksaraan, perlu disusun suatu pedoman
penyelenggaraan pendidikan keaksaraan yang berfungsi untuk memberi arah dan
pedoman pelaksanaan pendidikan keaksaraan dasar. Penyusunan pedoman
penyelenggaraan pendidikan keaksaraan dasar ini bertujuan untuk :
a. Menjamin
adanya penyelenggaraan pendidikan keaksaraan dasar bagi semua lapisan
masyarakat;
b. Mendorong
pengembangan budaya mutu pendidikan keaksaraan dasar;
c. Mendorong
percepatan peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan keaksaraan dasar;
d. Dapat
melindungi warga negara dari praktik pendidikan keaksaraan yang tidak
berstandar;
e. Melakukan
penuntasan target dalam memberantas penyandang buta aksara.
Adapun materi yang dikembangkan dalam
pedoman penyelenggaraan pendidikan keaksaraan dasar ini berlandaskan pada 8
standar nasional yang diantaranya yakni lulusan, standar isi, standar proses,
standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian.
Melihat pada permasalahan yang
dihadapi dalam penelitian tersebut, menjadikan penulis mencari solusi terkait permasalahan yang
didapat bahwa kegiatan penelitian tersebut harus mengacu pada situasi dan
kondisi masyarakat sebagai warga belajar, serta
penelitian tersebut harus memiliki pedoman penyelenggaraan pendidikan
keaksaraan dasar.
Secara
lebih luas, kemampuan literasi yang telah di dapat oleh setiap orang dapat
digunakan untuk menghadapi kehidupannya yang berkaitan erat dengan
program-program internasional seperti Education For All (EFA) yang antara lain
mencakup pendidikan dasar, keaksaraan remaja dan orang dewasa, keterampilan
untuk bekerja dan untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan maupun untuk
melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Maka, dalam konteks inilah
pendidikan keaksaraan perlu dikembangkan agar menjadi bagian dari pemenuhan
pendidikan holistik atau menyeluruh bagi semua komponen atau lapisan
masyarakat.
Dalam
hal ini pedoman penyelenggaraan pendidikan keaksaraan yang harus diperhatikan
mengacu dalam proses pembelajaran keaksaraan agar lebih terarah, yaitu :
a. Peserta
didik
b. Tutor
c. Penyelenggara
program
d. Kriteria
kelompok belajar
e. Sarana dan
prasarana
f. Pencapaian
hasil belajar
g. Laporan
hasil belajar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENELITIAN TERKAIT
Penelitian yang dijadikan sebagai dasar
penelitian selanjutnya adalah mengenai
“Peningkatan Skill dan Potensi pada Keaksaraan Fungsional” yang berlokasi di
kabupaten Wanaraja, Garut. Penelitian ini terkait bagaimana cara Keaksaraan
Fungsional yang merupakan istilah lain dari Education for All dapat
meningkatkan keterampilan masyarakat baik lifeskill ataupun softkill juga mampu
meningkatkan potensi yang dimiliki masyarakat sebagai warga belajar untuk
pemenuhan kebutuhan dalam rangka keberlangsungan hidupnya. Penelitian tersebut
memiliki tujuan utama yakni sebagai pemenuhan pengetahuan untuk menjadikan
masyarakat mandiri dan dapat mengembangkan potensi maupun keterampian yang
dimiliki, serta meningkatkan pengetahuannya, sehingga hal inilah yang mendasari
pelaksanaan penelitian selanjutnya.
Penelitian ini dilihat dari kondisi
masyarakat yang berstatus miskin sehingga menyandang status buta aksara.
Kemiskin yang terjadi dalam keluarga merupakan faktor dominan yang mempengaruhi
persoalan kemanusiaan lainnya, seperti keterbelakangan, kebodohan, dsb. Masalah
buta huruf, putus sekolah, anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia
tidak dapat dipisahkan dari masalah kemiskinan tersebut.
Berdasarkan pertimbangan sisi akademis,
sangat penting mendorong setiap anggota keluarga untuk memiliki keberdayaan
dalam bentuk penguasaan kecakapan hidup (lifeskill) yang sekali lagi berkaitan
dengan kualitas dan keterukuran pendidikan. Mutu pendidikan saat ini bergerak
dari pendekatan hasil pada proses. UNESCO mengatur agar keserasian usaha untuk
meningkatkan kualitas pendidikan melalui dukungan lingkungan yang menunjang,
proses pembelajaran, dan keluaran pendidikan yang lebih diarahkan pada
penciptaan generasi baru yang lebih mandiri dan warga belajar yang kritis yang
mampu untuk menetapkan dan melaksanakan pendidikan yang berkelanjutan yang
diperlukan untuk setiap tahapan kehidupan mereka. Salah satu yang pokok adalah
perlunya mendorong setiap anggota keluarga untuk berkemampuan melek aksara.
2.2 METODOLOGI
Persoalan mendasar
berkenaan dengan kemiskinan dan ketidakberdayaan masyarakat, merupakan salah
satu pemicu ketidaktersentuhan pendidikan. Deklarasi Dakkar berkenaan dengan
pendidikan untuk semua (EFA), semakin menguatkan dan memacu negara0negaraa
berkembang untuk berusaha menepati
komitmennya dalam memberikan kesempatan kepada setiap warga masyarakat untuk
mengikuti pendidikan. Hal ini yang melandasi bahwa permasalahan di bidang
pendidikan, baik di Indonesia maupun di negara lainnya adalah jumlah buta
aksara yang masih besar.
Mengacu
pada Deklarasi Dakar peningkatan angka keaksaraan orang dewasa adalah sebuah
jalan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dimana secara
internasional dapat diukur dari human development index (HDI). Walaupun HDI
Indonesia telah meningkat dari 0,619 pada tahun 1990 menjadi 0,692 pada tahun
2002, namun itu masih masih rendah jika dibandingkan dengan pencapaian negara
lain (Gambar 1). Dengan peningkatan angka keaksaraan orang dewasa menjadi 95
persen pada tahun 2009, HDI Indonesia akan meningkat secara signifikan. Tahun
2002 angka keaksaraan orang dewasa Indonesia tersisa 87.9 persen dimana ini
lebih rendah dibandingkan Thailand, Malaysia, Philipina, dan Vietnam.
Salah
satu keberhasilan dalam pengentasan buta aksara di Indonesia adalah
keterlibatan masyarakat termasuk organisasi perempuan dalam meningkatkan dan
memelihara keaksaraan di Indonesia.
Untuk mempercepat pencapaian target negara, President
Indonesia secara resmi meluncurkan “PERGERAKAN KEAKSARAAN” pada tanggal 2 Desember,
2004 untuk mempromosikan pentingnya keaksaraan dan memperoleh komitmen kuat
dari seluruh pelaku kebijakan termasuk pemerintah setempat, parlemen pusat,
tingkat daerah dan provinsi, organisasi-organisasi masyarakat, tokoh
masyarakat, dan tokoh agama. Pencapaian 5 persen buta aksara pada tahun 2009
membutuhkan pengurangan angka buta aksara secara signifikan darii sekitar 15.4
juta orang tahun 2003 menjadi 8.23 juta orang pada tahun 2009. Oleh karena itu
seluruh pelaku kebijakan perlu bekerjasama untuk memastikan target tersebut tercapai.
Gambar 1, HUMAN DEVELOPMENT INDEX diantara
negara-negara, 2002
Country
|
Life
Expectancy
|
Adult
Literacy Rate (15 years and above) (%)
|
Combined
Gross Enrollment
Rate from Primary to Higher Education (%)
|
Purchsing
Power Parity (US$)
|
HDI
|
Singapore
|
78,0
|
92,5
|
87,0
|
24.040
|
0,902
|
Japan
|
81,5
|
99,0
|
84,0
|
26.940
|
0,938
|
Philippine
|
69,8
|
92,6
|
81,0
|
4.170
|
0,753
|
Thailand
|
69,1
|
92,6
|
73,0
|
7.010
|
0,768
|
Malaysia
|
73,0
|
88,7
|
70,0
|
9.120
|
0.793
|
China
|
70,9
|
90,9
|
68,0
|
4.580
|
0,745
|
Indonesia
|
66,6
|
87,9
|
65,0
|
3.230
|
0,692
|
Vietnam
|
69,0
|
90,3
|
64,0
|
2.300
|
0,691
|
India
|
63,7
|
61,3
|
55,0
|
2.670
|
0,595
|
Sumber :
Laporan Pembangunan Manusia, 2004
Program keaksaraan menjadi salah
satu prioritas pengembangan pendidikan dan secara jelas telah disebutkan dalam
Rencana Pengembangan Jangka Menengah Nasional (2004-2009). Lagipula hal ini
juga ada dalam Rencana Strategis Pengurangan Kemiskinan bahwa program
keaksaraan merupakan hal yang penting untuk mengurangi kemiskinan. Dalam
konteks Indonesia, keaksaraan didefinisikan sebagai kemampuan untuk membaca dan
menulis kalimat sederhana dalam bahasa latin atau bahasa lain serta melakukan perhitungan
sederhana. Untuk mengevaluasi pelaksanaan pendidikan keaksaraan, digunakan
sebuah indikator keaksaraan. Indikator ini adalah rasio individu berumur 15
tahun ke atas yang melek aksara dibandingkan dengan total populasi orang dewasa
(berumur 15 tahun ke atas).
Maka dari itu, adapun
isi dari tulisan ini yaitu tentang Keaksaraan Fungsional yang merupakan nama
Education For All di Indonesia. Data yang penulis temukan dapat dijadikan
sebagai sumber informasi terkait pedoman dalam pelaksanaan pendidikan
keaksaraan dasar.
2.3 PERCOBAAN DAN HASIL
Keaksaraan sebagai
bagian dari Education For All atau pendidikan untuk semua memiliki
komponen-komponen yang harus dipenuhi sebagai berikut :
A. Peserta Didik
Peserta didik dalam program pendidikan
keaksaraan adalah individu atau masyarakat yang karena suatu hal mereka tidak
memperoleh pendidikan atau putus SD/MI kelas 1-3. Sesuai dengan kesepakatan
Dakkar dan Rencana Aksi Nasional Pendidikan Keaksaraan peserta didik memiliki persyaratan sebagai berikut :
·
Usia 15
– 44 tahun
·
Warga
masyarakat buta aksara
·
Warga
masyarakat yang putus sekolah tingkat SD/MI 1-3
·
Masyarakat
marginal di perkotaan dan pedesaan yang masih buta aksara
·
Masyarakat
yang terbatas dengan keterampilan yang dimiliki karena tidak mampu
mengembangkannya akibat buta literasi yang dimiliki.
B. Tutor
Tutor adalah orang yang membelajarkan atau
orang yang memfasilitasi proses pembelajaran di kelompok belajar. Tugas tutor
pendidikan keaksaraan adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melaksanakan pembimbingan dan pelatihan serta
pengabdian kepada masyarakat. Setiap warga masyarakat yang terpanggil jiwanya
untuk membantu membelajarkan warga masyarakat yang masih menyandang buta aksara
dapat menjadi tutor dengan kriteria sebagai berikut :
·
Berpendidikan
minimal SLTA atau sederajat
·
Pernah
mengikuti pelatihan pendidikan keaksaraan
·
Bertempat
tinggal di lokasi kegiatan/dekat kegiatan belajar yang dilaksanakan
·
Mampu
mengelola proses pembelajaran yangs esuai dengan kebutuhan warga belajar
·
Menguasau
materi atau bahan ajar yang diajarkan
·
Mampu
mengembangkan metode pembelajaran
·
Memiliki
tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas dan kewajibannya sebagai tutor.
C. Penyelenggara Program
Penyelenggara program adalah orang atau
lembaga yang mengorganisir, mengelola, dan mengadministrasikan kegiatan
kelompok pendidikan keaksaraan. Untuk menyelenggarakan kelompok belajar
pendidikan keaksaraan dapat dilakukan oleh :
·
Unsur
individu yang mempunyai oerhatian terhadap pemberantasan buta aksara;
·
Unsur
pemerintah (penilik, TLD, PB SKB, dan Pemerintah Desa)
·
Unsur
masyarakat (PKBM, DPD, Pondok Pesantren, Karang Taruna, dll)
Adapun kriteria penyelenggara pendidikan keaksaraan adalah sebagai
berikut :
·
Memiliki
data buta aksara
·
Memiliki
daftar daerah yang masyarakatnya sebagian besar buta aksara
·
Adanya
tutor yang memenuhi syarat
·
Mampu
melaksanakan program dengan baik
·
Mampu
menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan oleh kelompok belajar
pendidikan keaksaraan.
D. Kriteria Kelompok Belajar
·
Setiap
kelompok berjumlah 10 -15 orang
·
Setiap
kelompok belajar dibimbing oleh satu orang tutor
·
Setiap
orang berhak menerima alat-alat dan biaya kegiatan pembelajaran seperti :
ü Buku pedoman pendidikan keaksaraan
ü Buku rencana pembelajaran
ü Buku laporan kemajuan warga belajar
ü Buku konsultasi peserta didik dan tutor
ü Biaya penyelenggara kelompok belajar
E. Sarana dan Prasarana
·
Papan
tulis
·
Alat-alat
tulis
·
Penerangan
·
Papan
nama kelompok
·
Bahan-bahan
belajar
F. Pencapaian Hasil Belajar
Maksud dari pencapaian hasil belajar pada
pendidikan keaksaraan ini adalah kompetensi-kompetensi yang dimiliki peserta
didik setelah menjalani suatu pengalaman belajar. Kompetensi yang dimaksud
adalah kemampuan yang dimiliki seseorang terkait dengan aspek pengetahuan
(knowledge), keterampilan(skills) baik lifeskill maupun softskill, dan aspek
nilai, norma (values) yang diaktualisasikan dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak.
Pencapaian hasil belajar ini harus mengacu
pada Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang telah ditetapkan oleh Kemendikbud
Indonesia. Dalam hal ini, tutor dapat melakukan evaluasi terkait pencapaian
hasil belajar peserta didik dengan kriteria sebagai berikut :
·
Kompetensi
calistung yang dicapai
·
Pengetahuan
peserta didik
·
Keterampilan
peserta didik
·
Cara
berpikir, bersikap, dan bertindak peserta didik
G. Laporan Hasil Belajar
Laporan hasil belajar pada penilaian
pendidikan keaksaraan dapat dilakukan secara periodik dengan menggunakan penilaian formatif untuk mengetahui pengetahuan peserta didik sebelum
mengikuti pembelajaran pada pendidikan keaksaraan dan penilaian sumatif dengan
melihat tingkat pengetahuan yang dimiliki peserta didik setelah mengikuti
pembelajaran pendidikan keaksaraan. Pada
kegiatan ini, penilaian harus dilakukan secara objektif, akuntabel, informatif.
Hasil penilaian pendidikan keaksaraan dasar oleh pendidik dan satuan pendidikan
non formal dilaporkan dalam bentuk nilai dan deskripsi pencapaian kompetensi
yang dicapai oleh peserta didik.
Selanjutnya, penilaian oleh pendidik atau
tutor tersebut ditindaklanjuti kembali dengan cara menganalisis tingkat
kesukaran, dan kemudahan peserta didik dalam memahami pengetahuan yang
diberikan. Peserta didik mendalami keaksaraan yang diberikan apabila peserta
didik dinyatakan bebas dari buta aksara; peserta didik mampu memanfaatkan
keaksaraannya setelah program pembelajaran selesai; pemeliharaan tingkat
keaksaraan peserta didik atau warga belajar telah optimal dilaksanakan.
2.4 PEMECAHAN
Fokus penelitian pada dasarnya adalah masalah
yang bersumber pada pengalaman peneliti atau melalui pengetahuan yang
diperolehnya melalui keputusan ilmiah maupun keputusan lainnya (Moeloeng,
2001;65). Fokus masalah dalam penelitian
kualitatif bersifat tentratif, artinya penyempurnaan fokus tetap dilakukan sewaktu
penelitian sudah berada dilatar penelitian. Adapun penelitian memfokuskan pada
:
1. Bagaimana pengembangan lifeskill education
pada warga Wanaraja Garut ?
2. Apa manfaat yang dirasakan warga belajar
setelah mengikuti program lifeskill education pada keaksaraan fungsional ?
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
4. Mendeskripsikan penyelenggaraan program
lifeskill education pada keaksaraan fungsional;
5. Mendeskripsikan pengembangan program
lifeskill education pada warga belajar; serta
6. Mendeskripsikan manfaat program yang
diselenggarakan pada warga belajar sebagai program kecakapan hidup yang harus
dimiliki oleh setiap warga belajar untuk keberlangsungan hidupnya.
Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat
diambil manfaatnya sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis dari program pembelajaran
ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih kepada warga masyarakat dalam pengembangan potensi dan keterampilan terutama lifeskill
untuk dijadikan penguat dalam keberlangsungan hidupnya;
2. Manfaat praktis penelitian adalah bahwa
diharapkan penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan,
terutama dalam mengelola, membina, dan melaksanakan program Keaksaraan
Fungsional bagi penyelenggara serta bermanfaat bagi kelompok belajar keaksaraan
fungsional.
Manfaat yang dirasakan oleh warga belajar
setelah mengikuti program “lifeskill education” yaitu berupa hasil yang telah
dicapai oleh warga belajar dari penyelenggaraan dan pengembangan program
Keaksaraan Fungsional yaitu :
a. Kognitif, warga belajar memiliki kemampuan
CALISTUNG dan dapat memanfaatkan kemampuan dalam kehidupan sehari-hari
(fungsionalisasi);
b. Afektif,
kesadaran masyarakat akan pentingnya
pendidikan dengan pembuktian semakin antusiasnya masyarakat yang
mengikuti program Keaksaraan Fungsional;
c. Psikomotorik, dapat membuat keterampilan
seperti memanfaatkan barang-barang yang sudah tidak terpakai (daur ulang),
keterampilan dalam mengolah ladang seperti pertanian untuk mendirikan usaha
mandiri dalam meningkatkan taraf hidupnya.
Berdasarkan data, serta penjelasan yang telah
disampaikan sebelumnya disarankan bagi penyelenggara program Keaksaraan
Fungsional agar memberikan materi keterampilan lifeskill yang lebih banyak
supaya warga belajar dapat lebih berpikir kritis dan kreatif untuk mengeluarkan
berbagai inovasinya dalam meningkatkan taraf hidupnya.
REFERENSI
http://jurnal.upi.edu/penelitian-pendidikan/view/142/model-penyelelarasan-pendidikan-keaksaraan.html
Komentar
Posting Komentar