Mimpi di balik Senja
Inilah
cerita yang mengisahkan bentuk kebahagiaan yang tidak banyak dimiliki orang.
Cerita yang mengisahkan kekuatan doa, cinta keluarga dan pengorbanan yang meninggalkan
sesuatu yang telah dipilihkan. Kisah hidup ini tidak banyak dirasakan mereka
yang mungkin menganggap bahwa apa yang dimilikinya telah membuat bahagia
meskipun nyatanya hanyalah sebatas fatamorgana dunia. Bercerita tentang negeri
indah dibalik gunung raksasa yang mampu menyentuh langit, sebuah kampung bak
negeri yang telah melahirkan sosok anak periang dan penuh harapan akan
cita-cita yang selalu didambakan. Dialah Asih anak yang berusaha bangkit dari
bayang-bayang yang membatasi mimpi yang terus ia ceritakan pada Tuhannya di
setiap sepertiga malamnya. Dialah anak yang selalu menyatakan bahwa seekor
punduk pun nyatanya bisa mencapai bulan. Meskipun orang lain mengatakan
mustahil namun tidak bagi dirinya.
Asih
seorang remaja berusia 19 tahun yang berasal dari kota Batu Malang, dimana ia
tinggal di sebuah rumah kecil beserta kelima saudara lainnya. Hidup yang serba
berkecukupan menjadikannya harus berpikir ratusan kali untuk bisa melanjutkan
sekolahnya di Bogor. Ayahnya hanyalah seorang petani dengan penghasilan yang
bisa dikatakan masih kekurangan menghidupi keluarganya. Ibu Asih hanya seorang
ibu rumah tangga yang mengurusi rumah dan semua anggota keluarga, meskipun
terkadang ibunya membantu suaminya Sunarto mengolah sawah yang hanya beberapa
petak saja hasil warisan orangtua Sunarto. Asih anak yang pintar, dan
berkepribadian baik dialah anak kedua hasil buah cinta ibu bapaknya. Kakaknya
Minah hanya mampu bersekolah sampai tahap SMP, bukannya tidak ingin melanjutkan
ke SMA namun dia lebih memilih bekerja untuk membantu adik-adiknya bersekolah.
Tidak ingin bernasib sama, Minah bekerja keras untuk bisa menjadikan
adik-adiknya mampu duduk di bangku
perkuliahan seperti anak-anak lainnya. Batasan yang terus membayangi kelurga,
menjadikan Sunarto enggan menaruh harapan besar kepada anak-anaknya untuk dapat
berkuliah. Namun ia masih memiliki celah agar bisa bangkit dari keterpurukan
yang selalu menjadikan anaknya takut bermimpi, meskipun hanya ia sendiri yang
mengetahui.
“Aku
sampai hati melihat bapak menyuruh kami mengubur apa yang seharusnya kami
gapai, kami berhak pak.” Asih menanggapi tentang hal yang selalu dibantah
Ayahnya sejak lama. Minah yang saat ini hanya bekerja sebagai penjaga toko merasa lumpuh mendengar lirih adiknya yang
harus membuang jauh harapan hanya karena ekonomi yang sama sekali tidak
mendukung cita-citanya. Ibupun hanya tertunduk bersimpuh dan menangis menyesali
ketidakmampuannya membahagiakan anak-anaknya. “Cukup ibu saja yang hanya
sekolah sampai SD pak, tidak tegakah bapak pada anak sendiri?” seakan terus
tertekan untuk melawan keegoisan suami meskipun dia tahu betul bahwa semuanya
untuk kebaikan keluarganya sendiri. “Apa yang salah dengan bapak, memangnya
kita punya apa ? makanpun sudah alhamdulilah toh.” Kerasnya Sunarto berbicara,
sampai bilik rumah pun ikut bergetar karena suaranya yang begitu kuat. Ratna
dan Retno adalah sepasang anak kembar, mereka tumbuh pintar seperti halnya Asih
dan Minah, tak tahan menahan air mata yang jatuh perlahan mengalir tanpa sadar
hingga membuatnya jatuh pada pelukan ibu yang selalu menyabarkan kami tiap
waktu. “Sing sabar yo mba, mungkin ini cobaan dari gusti Alloh.” Retna mencoba
memberi kekuatan kepada kakaknya dan mencoba menempatkan diri pada posisi yang
tengah dihadapi Asih. Hanya berderai air mata Asih tak mampu mengeluarkan kata
saat Retna menghampirinya malam itu.
“Kemanakah
senja yang dirindukan banyak orang ? kemanakah mentari yang seharusnya
menguatkanku menghadapi terpaan sebagai anak kurang mampu ?” kata-kata kutukan
itu seakan terus mengelilingi pikiran Asih, membuatnya semakin ingin pergi
mencari apa yang diinginkan. Hari kelulusan SMA hanya tinggal 3 minggu lagi,
melihat temannya yang sibuk mencari Universitas andalan semakin menggoda Asih
untuk bisa sama seperti halnya mereka saat ini. Pertanyaan terus berjatuhan
menanyakan hal yang sama tentang tujuannya setelah lulus dari bangku SMA. Senja
yang dinantikan terus berganti, hingga waktu membuat keputusan bahwa Asih harus
teguh pada cita-citanya dan mencoba berbagai cara untuk bisa meraih bangku
kuliah seperti harapan ibu dan kakaknya. Yakin pada restu ibu membuatnya percaya bahwa Asih mampu meraih
Universitas terbaik di Indonesia, IPB kampus pertanian yang terus mengingatkannya
pada sosok ayah yang seorang petani tangguh.
Hari
kelulusan tiba, Asih dan keluarga menyambutnya haru meskipun bapak tidak ikut
mendampingi kelulusannya. “bapak kemana bu ?” tanya Asih bingung mencari
bapaknya yang seharusnya hadir mengucapkan selamat pada anaknya. “Bapak sedang
ada kerjaan Sih, katanya nanti kalo cukup waktunya bapakmu bakal nyusul. Wis
toh jangan sedih gitu, kan bapaknya gak sengaja.” Sosok ibu selalu menenangkan
Asih di setiap kesedihannya, meskipun Asih tahu betul ibunya perlu berbohong untuk
sekedar memberi kesenangan pada
anak-anaknya. “Iyo to bu Asih juga enggak apa-apa. Sing penting ibu sama mba Minah
bisa dateng.” Asih menguatkan diri, dibandingkan ia harus terus memprotes atas
tindakan bapaknya hari itu. Acara yang dinantikan tiba, kini kepala sekolah
akan mengumumkan siswa-siswinya yang lolos masuk ke perguruan tinggi pilihan.
1,2,3... sampai akhirnya urutan no 15 hampir melunturkan harapan Asih, namun
ternyata nama Asih Setiawati adalah siswi selanjutnya sebagai sisiwi yang lolos
masuk perguruan tinggi negeri IPB, sesuai harapannya. Sorak haru serta tepuk tangan ibu dan Minah membuat Asih
larut tak menyangka bahwa ia mampu seperti anak lainnya bisa kuliah di
Universitas ternama.
Bapak
yang ditunggunya kini hanya memperlihatkan wajahnya dari balik kursi rumahnya. Dengan bangganya Asih
menceritakan apa yang didapatkannya dan rencananya nanti. “Pak, alhamdulilah
Asih keterima di IPB.” Ucap ibu membantu Asih menjelaskan hal bahagia ini pada
bapaknya, Sunarto. “Opo to IPB itu ? Bapak ora tau, sing penting yang butuh
kamu itu ya rumah ini bukan IPB,” bapak terus bersikeras pada perkataannya, dan
begitupun dengan Asih. “Asih perlu kuliah pak, Asih punya cita-cita dan IPB
tahu bagaimana Asih bisa meraih cita-cita itu.” tegas Asih terus melempari
bapaknya dengan tuntutan hak nya bisa berkuliah. “Ngerti opo kamu ini ? Wis to,
anak perempuan mah sing penting bisa di dapur sama ngurus rumah wae udah cukup,
gak usah sekolah tinggi-tinggi Cuma buang-buang tenaga aja.” Semakin kuat tekad
Asih maka semakin keras bapak melawan dan menjatuhi Asih dengan perkataan yang
terus membatasi gerak perempuan. Menjauhlah cara tepat untuk menghindari
kekecewaan memiliki seorang bapak yang tidak ingin memajukan anaknya. Lelah,
dan kegetiran melawan orang tercinta semakin memuncak kala ia dihadapkan untuk
bekerja membantu mba Minah di tokonya.
Senja
yang selalu dia nanti ternyata membawanya pada pilihan melawan orang tua. Peluh
keringat ibu dan bapak harus ia pertimbangkan, terlebih lagi mimpi yang ia
tanam harus ia patahkan. Asih terjatuh dan terpuruk penuh ketakutan bahkan
untuk bermimpi kembali. Harapan yang ia kumpulkan menetes dari keringat bapak,
dan perjuangan kakak untuk adik-adiknya dan dari kehangatan seorang ibu untuk
anaknya. Bukan ia mengingkari cinta mereka yang seluas samudera yang bahkan tanpa
batas, namun cinta yang terus tumbuh itu apakah membuatnya harus melepaskan
segala impian yang telah dipersiapkan. Asih
pun terus merindukan senja yang kian meredup tertelan bumi yang kejam. Entah apakah
ia mampu temukan kembali senja itu atau
mungkin akan selamanya menghilang dari gugusan bintang-bintang penjaga malam.
Pikirnya hanya Tuhan yang bisa menjawab segala pertanyaan yang terus diucapkan
Asih setiap hari.
Matahari
siang terus menyoroti tubuhnya saat ia beranjak dari rumah untuk membantu mba
Minah menjaga toko. Angin terus meniupkan harapan bahwa dirinya mampu
mengalahkan keterbatasan bapaknya ataupun keluarganya. Entah apa yang membuat
bapaknya ingin mengantarkan Asih dengan sepeda motor tua yang sudah lekang
dimakan waktu itu. “Sih, ayo sini bareng sama bapak ! Sekalian bapak mau pergi
ke rumah pak Lurah”. Mungkin benar jika
bapak bersikeras melarang Asih bisa terbang ke dunia yang dia inginkan, namun
dibalik itu semua ada ribuan kasih sayang yang masih tersisa untuk anaknya Asih
bahkan anak-anaknya yang lain. Jalanan yang sepi semakin membuat angin pagi
terasa menusuk bahkan sampai ke dasar tulang. Bapak yang hanya fokus dengan
jalanan di depannya, kini mulai membuka percakapan tentang rencana kuliah Asih
di IPB. “Ndo, kamu tahu kalau kita kelurga yang serba kurang ?” raut sedih
semakin menambah sunyi Sunarto memikirkan masa depan anak-anaknya. “Asih tahu
pak, tapi keterbatasan yang kita miliki tentu bukan penghalang Asih jadi orang
sukses.” semakin memperjelas apa yang sebenarnya ingin dikatakan Sunarto pada
Asih, kini anaknya itu hanya bisa menunggu perkataan apalagi yang bisa terjun
dari mulut bapaknya. “Asih mengerti apa yang bapak maksud pak, tapi ini sudah
pilihan Asih. Bukan Asih ingin durhaka sama bapak dan ibu tapi Asih hanya takut
untuk menjadi miskin.” Sungguh Asih terheran dengan reaksi bapaknya itu,
tiba-tiba sepeda motor yang dibawanya melewati toko yang seharusnya disitulah
Asih berhenti. Tanpa kata tanpa penjelasan Sunarto terus membawa kendaraannya
melaju entah kemana sebenarnya itu.
Angin
senja mengalun membawa Asih bersama bapaknya menghampiri pak Lurah di tepat di
depan rumahnya, entah apa pula yang membawa Sunarto datang menemui Lurah apakah
karena ada urusan atau mebicarakan sawah pak Lurah yang kebetulan digarap oleh
bapaknya Asih. “Assalamualaikum pak Haji
?” begitulah Sunarto kerap memanggil lurah di tempatnya. “Waalaikumsallam
warrahmatullah, ekh kamu jadi toh kesininya ? ditunggu dari kemaren dikira
sampean enggak jadi kesini. Ayo masuk.” Entah apa yang akan mereka bicarakan di
rumah itu, Sunarto hanya meminta anaknya untuk menunggunya di luar. Asih merasa
bingung apa yang akan dilakukan bapaknya, hatinya berdegup kencang melebihi
semilir angin yang terus mengajaknya untuk berlari ke taman impian. Asih hanya
ditinggalkan seorang diri, duduk di taman dan ditemani oleh senja yang seakan
kembali bersinar seperti awal dia melihatnya.
Lama
sudah Asih menunggu bapaknya keluar untuk pulang, dan tiba-tiba bapaknya keluar
beserta pak Lurah dengan membawa keresek hitam yang cukup besar namun entah apa
isi di dalamnya. Tidak ingin menunggu lama lagi, aku mengajak bapak untuk
pulang sore itu. “Ndo, kamu bener mau kuliah ?” bapak memulai pembicaraan lagi
dengan pertanyaan sama. “Iya pak, Asih yo bener kepengen kuliah kaya orang
lain.” Anak itu terus memberikan ketegasan bahwa impiannya harus bisa
terwujudkan. Bapak hanya terdiam bisu mengendarai sepedanya yang tua itu. Asih
kembali diam tanpa bertanya kembali, sampai ia memberanikan untuk berbicara
bahwa ia harus bekerja membantu mba Minah menjaga toko. “Pak aku turun di deket
toko, mba Minah pasti udah nunggu dari tadi siang.” Sunarto tidak menghiraukan
permintaan anaknya, dan malah terus melajukan sepedanya itu menuju rumah kecilnya.
Anak-anaknya menyambut dengan membuka tangan mereka lebar, dan Sunarto seperti
yang enggan untuk menyambut tangan-tangan anaknya yang merindukan kepulangan
sang bapak. Irvan adik kecil Asih memberikan tatapan bingung dengan tingkah
bapaknya, dan memilih memberikan peluknya pada pangkuan Ibunya. “Bu, Asih hari
ini malah enggak ikut bantuin mba jaga toko.” Hanyut ibu terbawa kesedihan Asih
bisa mengejar impiannya. “Yo wis, ndak opo-opo. Mba mu pasti sing ngerti ndo.”
Asih tahu bahwa wanita yang kini ada dihadapannya bisa merasakan kesedihannya
itu, tapi mungkin inilah takdir yang
harus diterima. Asih bukan manusia yang bisa memilih kehidupan mana yang ingin
ia terima, ia hanya bisa menjalani saja terlahir sebagai anak dari seorang
petani.
Kabut
malam semakin tebal, semua orang serasa sudah tertidur lelap dan hanya Asih
yang masih menatap langit-langit rumah. “Belum tidur kamu Sih ? Sudah malam.”
Suara itu mengagetkan jantung Asih yang duduk berbaring di kursi bambunya. “Asih
baru mau tidur pak.” Dia pun langsung beranjak dan lekas pergi ke kamar
menghampiri adik dan kakaknya yang telah tertidur lelap. “Sih.” Bapak kembali
memanggilnya, entah apa yang akan dikatakannya namun kini terdengar lebih
serius diikuti dengan nada lirihnya. “Sini Asih, bapak mau ngobrol sebentar.”
Takut itulah hal yang dirasakan remaja cantik, meskipun Sunarto adalah bapak
yang kandungnya namun Asih merasa enggan berbicara lagi setelah kejadian
beberapa hari itu. “Ada apa pak ?” raut yang memancarkan sedih terlihat jelas
pada wajah bapaknya, Sunarto pun lantas mengajak anaknya untuk duduk di kursi
bambu itu. “Jika kau benar ingin
berkuliah, bawa uang ini buat ongkosmu selama di IPB nanti. Bapak tidak punya
uang banyak untuk bisa memberikanmu kehidupan yang nyaman.” Jatuh air mata Asih
mendengar perkataan bapaknya, remuk hatinya ketika melihat Sunarto tertunduk
setelah memberikan keresek hitam yang tadi ia bawa setelah pulang dari pak
Lurah. “Uang dari mana ini pak ?” malam semakin mencekap dengan lirih Asih.
Bapak tidak memberikan jawaban, hanya meninggalkannya dan pergi ke kamar untuk
beristirahat. Asih duduk sendiri, keresek hitam itu entah dari mana datangnya
namun pasti Asih sangatlah gembira karena besok ia bisa pergi ke jalan yang
ingin ia susuri bersama impian.
Merahnya
mentari pagi bersinar lebih terang dari hari sebelumnya. Asih menceritakan hal
semalam itu pada ibunya dan sang ibu hanya bisa tersenyum sedari mengatakan
bahwa sawah warisan itu telah terjual. Asih tidak tahan ingin memeluk ibunya
dan meminta maaf atas keinginannya yang terlalu tinggi. Namun, sucinya hati ibu
yang memberikan semangat serta doa restu pada anaknya yang kini akan merantau
ke negeri orang. Sesak rasanya saat ia melihat kini bapaknya hanya bisa
mengojek saja, bersimpuh ia di kaki bapak meminta maaf dan doa restu. “Sudahlah
ndo, sing bisa jaga diri wae. Bapak mau kau jadi orang hebat, orang berani.”
Itulah kata-kata Sunarto yang selalu Asih ingat kemanapun ia pergi. Indahnya alunan
kata lelaki itu, melambung pula Asih dibuat bapaknya. Kata-kata bijak bapak
selalu terbisik bahwa dunia ini hanya dimiliki orang-orang berani. Orang berani
itu melangkah menjalani hidup yang keras, menghadapi ribuan kekecewaan bahkan
ketidakadilan yang kian datang, dan berani melalui kesendirian.
Tibalah
Asih menginjakan kaki di negeri itu, dan hangatnya kasih ibu selalu saja
menyertai Asih untuk bisa melangkah lebih jauh. Disitulah Asih membenih untuk
masa depan, memenangkan tantangan demi tantangan yang akhirnya membawa cahaya
baru yang bahkan lebih indah dari yang dinantikan. Dunia ini memanggilku karena
proses yang panjang untuk bisa melalui taman impian. Inilah kesempatan Asih
untuk bisa mengubah hidupnya, untuk keluarganya dan untuk sawah yang telah
Sunarto jual demi masa depan anaknya.
Setiap
hari matahari yang terbit selalu mmebawa Asih ke dalam kerinduan untuk pulang
ke kota Batu. Ribuan senja tenggelam di antara gedung-gedung megah IPB yang
membawa kesunyian. Harapan Asih untuk bisa berdiri sampai saat ini terbangun
dari perjuangan yang kokoh. Sayapnya semakin kuat untuk terbang mengarungi kehidupan yang lebih
menantang. Asih terus berlayar untuk mengumpulkan kepingan-kepingan kenangan
dan harapan , sendiri di kota yang penuh dengan kesejukan. Kegetiran masa lalu
menyala kian memberikan garis hidup yang indah. Asih memikirkan bahwa
bagaimanapun getirnya masa lalu selalu akan ada untuk dimengerti. Dermaga Batu
itu harus ditinggalkan untuk melanjutkan pelayaran.
Tangisan
ibu, mba Minah bahkan adik-adiknya
memberikan semangat berkobar pada impian yang terus dia genggam. Sunarto
ialah bapak yang selalu menjaga mimpi
anaknya untuk tetap menyala, biarpun
yang dimiliki anaknya tak sempurna seperti apa yang pernah diberikannya. Kini
Asih bisa mengerti dengan kekerasan sang bapak selama ini. Dialah Sunarto sang
bapak dengan segala keterbatasan namun selalu memberikan kendahan bagi
keluarganya meskipun tidak seberapa. Dialah bapak dengan kata-kata cintanya
yang dingin namun mampu memberikan kehangatan yang begitu mendalam. Kini Asih
harus bisa berjuang demi segala yang telah ia dapatkan, cinta, pengorbanan dan
perjuangan keluarga untuk bisa mengantarkannya pada masa depan yang lebih
gemilang.
Komentar
Posting Komentar